top of page
Search

Kotoran Sapi Vermikomposing Pemicu Kerjasama Cacing dan Bakteri di Tanah

  • Task 5th On UTS TKI
  • Oct 29, 2017
  • 4 min read

Petani di Indonesia sering mengalami gagal panen atau merugi karena harga perawatan pertumbuhan tanaman lebih besar dari pada pendapatannya. Hal ini sejalan dengan penurunan jumlah angka pertanian rumah tangga 0.41% dari tahun 2003-2013 yang melakukan alih profesi (BPS, 2013). Salah satu cost yang besar dalam pemeliharaannya adalah penggunaan pupuk untuk memberikan nutrisi pada tanaman di lahan tanah yang intensif penanaman. Berdasarkan data dari APPI (2017), pada tahun 2008-2016 petani menggunakan 94,4% pupuk kimia jenis NPK, urea dan ZA. Hal ini dikarenakan sifatnya yang praktis serta berefek langsung dalam mempercepat pertumbuhan pada tanaman. Harga pupuk kimia dipasaran dapat Rp.90.000- Rp.115.000 ribu/50 kg berdasarkan harga eceran tertinggi pupuk melalui Permentan Nomor 59/Permentan/SR.310/12/2016. Petani membutuhkan pupuk sebanyak 500 kg/ha pupuk anorganik yang membutuhkan biaya berkisar Rp.900.000- Rp.1.150.000/ha dan dibutuhkan campuran pupuk organik 2 ton/ha untuk memaksimalkan kesuburan tanah dalam setiap perioda panen.

Penggunaan pupuk kimia akan menurunkan peran bakteri dalam melakukan dekomposisi di dalam tanah dan cacing yang melakukan pengolahan kesuburan tanah. Solusi untuk melakukan penyuburan kembali tanah pada lahan intesif penanaman dilakukan dengan penambahan pupuk organik. Pupuk organik yang ditambahkan salah satunya kotoran sapi yang akan memicu kerjasama bakteri dan cacing tanah untuk menghasilkan nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman (Sinha, 2009). Salah satu pupuk organik adalah pupuk hasil proses dari vermikomposing. Vermikomposing bukanlah istilah asing dalam pertanian dan peternakan. Pada kenyataannya kegiatan ini, berhubungan erat dengan aktivitas petani dan peternak sapi. Vermikomposing merupakan pembuatan kompos berbahan dasar dari kotoran sapi yang diproduksi dengan bantuan cacing (Sinha, 2009). Cacing di alam sebagai bioindikator dalam kesuburan tanah. Selain itu, cacing merupakan bioengineering dalam proses aerasi tanah dan penggemburan tanah. Cacing membutuhkan jumlah makanan yang sebanding dengan berat badannya dan akan dikeluarkan dalam bentuk casting yang lebih banyak mengandung nutrisi yang akan dilajutkan oleh dekomposisi bekteri dan menghasilkan nutrisi yang siap diserap oleh tanaman. Kotoran cacing yang dihasilkan dan campuran dari sisa media tumbuh dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang ramah lingkungan, penyubur tanah, pembunuh bakteri patogen, dan penahan air tanah. Selain itu, Vermikompos hasil dari proses vermikomposing mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanah pertanian, seperti N total 1.4-2.2%, P 0.6-0.7%, K 1.6-2.1%, Ca 1.3-1.6%, Mg 0.4-0.95%, rasio C/N 12.5-19.2%, dan kandungan senyawa organik 40.1-48.7% dan kondisi pH vermikompos sekitar 6.5-6.8% (IPPT, 2001).

Cacing pada kasus ini berperan sebagai agen detritivor yang bertugas untuk memecah zat organik dari ukuran besar menjadi ukuran lebih kecil. Ukuran organik yang lebih kecil dapat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri untuk melakukan dekomposisi yang menghasilkan senyawa anorganik. Senyawa anorganik diserap oleh tumbuhan untuk melakukan metabolismenya. Penyediaan nutrisi yang tersedia langsung dialam akan membantu mempercepat pertumbuhan tanaman (Coleman, 2004). Pupuk kimia yang diberikan tersedia secara langsung dalam bentuk anorganik yang langsung diserap oleh tanaman. Hal ini, akan mengurangi kerja bakteri untuk melakukan dekomposisi di tanah, sehingga menurunkan kualitas tanah.

Pada umumnya, petani memberikan kotoran sapi pada tanaman dalam bentuk segar atau tidak pada tekstur yang sesuai. Pemberian kotoran sapi yang tidak tepat akan mengurangi efesiensi kerja pupuk hingga menurunkan produktivitas tanaman. Kotoran sapi yang telah mengalami tahapan vermikomposing akan menghasilkan efesiensi kerja yang lebih tinggi. Vermikompos dapat dilakukan dengan mudah oleh petani yaitu dengan mengumpulkan kotoran sapi dalam satu lubang dengan kedalaman 1 m3 kemudian di masukkan cacing. Cacing yang digunakan dalam vermikomposing diantaranya Eisenia fetida, Perionyx ceylanensis, Perionyx excavates, dan Eudrilus eugeniae (Prayitno, 2013). Setalah itu, ditutup dengan karung agar terhindar dari cahaya matahari dan tetap menjaga aerasi. Perbandingan berat cacing dan kotoran sapi yang dimasukkan yaitu 1:1, karena cacing akan memakan seberat ukuran tubuhnya. Vermikomposing dilakukan selama 40-50 hari. Setelah itu, dicek tekstur kotoran sapi menghitam dan menyerupai tanah. Saat itulah kompos dapat digunakan dan diberikan pada tanaman. Pembuatan kompos dari kotoran sapi praktis dan lebih terjangkau dibandinkan dalam penggunaan pupuk kimia.

Saat ini, perguruan tinggi di Indonesia merupakan salah satu pelopor pergerakan dalam menghidupkan kembali label agraris di negara kita. Perguruan tinggi dapat bergerak dalam melakukan riset dan pemanfaatan tekologi tepat guna yang inovatif dan mudah dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat salah satunya vermikomposing. Riset ini perlu didukung oleh pemerintah dengan penyediaan sarana dan prasaran dalam kebutuhan riset dan pengaplikasiannya. Selain itu, masyarakat terutama petani perlu berperan aktif dalam mengaplikasikan hasil riset yang inovatif dan mudah dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Ketercapaian suatu tujuan bukan karena seseorang atau sebagian yang menyelesaikannya melainkan semua orang yang melakukannya sehingga menghsailkan timbul rasa memiliki.

Referensi:

APPI. 2017. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. http://www.appi.or.id/?statistic. diakses

tanggal 20 Oktober 2017 pukul 08.00 WIB.

BPS 2013. Badan Pusat Statistik. Tanaman Pangan Padi. https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php. diakses tanggal 12 Oktober 2017 pukul 22.30 WIB.

Coleman, D. C. (2004). Fundamentals of Soil Ecology. USA: Elsevier Academic Press.

IPPTP, I. P. 2001. Vermikompos (Kompos Cacing Tanah) Pupuk Berkualitas dan Ramah Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Prayitno. (2013). Pembuatan Vermikompos Menggunakan Limbah Fleshing Di Industri Penyamakan Kulit. Majalah Kulit, Karet, dan Plastik, Vol. 29(2): 77-84.

Sinha, R. K. (2009). American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci. The Concept of Sustainable Agriculture: An Issue of Food Safety and Security for People, Economic Prosperity for the Farmers and Ecological Security for the Nations, 5 (S): 01-55.


 
 
 

Comentarios


RECENT POSTS:
SEARCH BY TAGS:

© 2023 by NOMAD ON THE ROAD. Proudly created with Wix.com

  • LinkedIn - Black Circle
  • b-facebook
  • Twitter Round
  • Instagram Black Round
bottom of page